SUARA CIANJUR ■ Secara akademis produk rekayasa genetika (PRG) sebagai bagian dari pemanfaatan bioteknologi pertanian sejalan dengan pertanian organik. Dalam pengertian bahwa PRG dihasilkan melalui proses biologis biasa dan hasil-hasilnya bersifat biologis organik.
Penegasan tersebut disampaikan Peneliti Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Prof. Dr. Ir. I Gede Putu Wirawan, M.Sc. di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) tentang Bioteknologi Pertanian Bagi Akademisi yang di selenggarakan secara online oleh Konsulat Jenderal Amerika Serikat (Konjen AS) di Surabaya bekerjasama dengan Universitas Udayana Bali, Universitas Jember, dan Institut Pertanian Bogor, pada Kamis (9/9).
Menurutnya, pertanian khususnya tanaman tidak membutuh input organik. Tanaman menyerap unsur-unsur yang bersifat anorganik. Kenyataanya secara definisi pertanian organik tidak memasukan PRG.
“Jadi PRG sampai saat ini tidak masuk dalam pertanian organik. Bagi PRG yang sudah lolos semua kriteria uji termasuk uji multi lokasi, uji keamanan pangan dan pakan, kemanan hayati/ lingkungan dan sebagainya sudah dinyatakan aman dan pasti punya keunggulan tertentu,” kata Wirawan.
Ia mengungkapkan terdapat beberapa alasan yang menyebabkan tidak dimasukkannya PRG dalam definisi pertanian organik, salah satunya karena definisi pertanian organik disusun oleh orang-orang berlatar belakang lingkungan.
Alasan lainnya akibat kekurang fahaman tentang proses biologis dalam perakitan tanaman transgenik, dan definisi organik hanya dipahami sebatas memanfaatkan jenis atau varietas yang ada secara alami.
“Update Bio-teknologi Pertanian merupakan dasar pengetahuan dalam menentukan sikap merespon produk rekayasa genetik. Tanpa pengetahuan yang cukup tentang bioteknologi pertanian tidak akan mudah menyimpulkan tentang produk rekayasa genetik bermanfaat atau merugikan masayarakat,” jelas Wirawan.
Wirawan juga membantah terkait persepsi yang berkembang bahwa tanaman trasgenik akan menghilangkan gen lokal atau varietas lokal. Mengingat tanaman biasa saja dapat menghilangkan gen-gen lokal.
Ia mencontohkan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan melalui penebangan yang menyebabkan banyak gen tanaman varietas lokal yang hilang.
Prof Dr. Ir. Bambang Sugiharto, MAgrSc., DAgrSc yang merupakan Dosen Fakultas Pertanian Universitas Jember mengungkapkan bahwa dalam memanfaatkan rekayasa genetik regulasi sangat diperlukan untuk meminimalisis dampak negatif dari produk tersebut. Guna pemanfaatan tanaman PRG telah disepakati di dunia menggunakan acuan Protokol Cartagena 1994.
Indonesia telah meratifikasi protocol Cartagena menjadi PP 21 Tahun 2005 tentang “Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika”. Sesuai dengan PP 21 Tahun 2005 tanaman PRG dapat dilepas dan dimanfaatkan oleh masyarakat harus melalui sertifikasi keamanan hayati (biosafety assessment) yang dilakukan oleh Komisi Keamanan Hayati – Keamanan Pangan PRG (KKHKP-PRG). Semua pengujian keamanan hayati ditujukan untuk menjamin bahwa tanaman PRG aman digunakan oleh masyarakat dan tidak menimbulkan permasalahan.
“Terdapat tiga pengujian pengujian keamanan lingkungan, kemudian pengujian keamanan pangan dan pengujian keamanan pakan. Setiap produk tanaman yang akan dikomersialkan harus mempunyai sertifikasi pengujian ke tiga ini, kalau tidak bisa disebar ke masyarakat,” papar Bambang Sugiharto.
Bambang Sugiharto menegaskan produk rekayasa genetika pada dasarnya aman secara lingkungan dan dapat menjamin peningkatan produksi pertanian. Atas dasar pertimbangan tersebut sudah selayaknya PRG dapat dikembangkan di Indonesia.
Dr. Ing Dase Hunaefi, S.TP., M.Food.ST dari Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor menyampaikan bahwa masih banyak yang mempertanyakan pentingnya penggunaan produk rekayasa genetika, padahal sudah ada teknik pemuliaan konvensional dan perkawinan silang.
“Keunggulan GMO ini tentunya lebih tepat, lebih baik dan presisinya sesuai target. Keunggulan lainnya dapat mengatasi kendala ketersediaan sumber gen,” ungkap Hunaefi.
Hunaefi menyampaikan teknologi GMO juga sebagai bentuk jawaban atas kebutuhan konsumen, dimana konsumen makin banyak kebutuhannya termasuk salah satunya sebagai contoh Anti Browning Apples. Terdapat juga kebutuhan akan kandungan serat yang tinggi pada produk hasil pertanian.
Ia menambahkan bahwa pada dasarnya makanan hasil dari produk rekayasa genetika aman untuk dikonsumsi. Pemanfaatan tanaman GMO pada dasarnya juga sejalan dengan upaya untuk budidaya tanaman tanpa pestisida, karena dapat dikembangkan tanaman yang tahan terhadap hama dan penyakit.
“Ini membantu budidaya tanaman tanpa pestisida, dimana serangan hama dan penyakit rendah, produktivitas semakin tinggi, biaya murah,” tegas Hunaefi.
Sedangkan Dylan Hoey, selaku Wakil Kepala Bidang Politik Dan Ekonomi di Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya mengungkapkan bahwa Amerika Serikat sebagai salah satu pemimpin di bidang sains dan teknologi, sangat berkomitmen bekerja sama dalam penggunaan teknologi baru untuk kesejahteraan dan perkembangan ekonomi.
Menggali teknologi dalam bidang pertanian menjadi salah satu dari banyak program yang Kedutaan besar Amerika Serikat di Indonesia dan Konsulat Jenderal Surabaya AS terkait sains dan teknologi.
“Bagaimana meningkatkan produktivas sektor pertanian, meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dan di saat yang sama mendorong pertumbuhan ekonomi keberlanjutan dan praktek yang sesuai nilai budaya dan sosial setempat,” ungkap Dylan Hoey.(muliarta).