SUARA CIANJUR | CIANJUR - PACET, Proyek Pengembangan Energi terbarukan sumber panas bumi (Geotermal) di Kawasan Hutan (TNGGP) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Wilayah I Cianjur, kini menjadi pusat perhatian semua kalangan tidak hanya di wilayah Kecamatan Pacet dan Kecamatan Cipanas saja.
Proyek tersebut kini menjadi sorotan masyarakat Kabupaten Cianjur, pasalnya proyek yang diduga diinisiasi Kementerian ESDM dengan pelaksana PSPE. PT. Daya Mas Geopatra Pangrango menuai penolakan dari sebagian masyarakat di dua kecamatan tersebut. Senin, (7/8/2023).
Menanggapi statement Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango disalah satu media online. Direktur Agraria Institute (D. Firman K) angkat bicara:
" Kalau saya simak pernyataan beliau, Kabid Pengelolaan TNGGP Wilayah I Cianjur, hanya berputar-putar di permasalahan tekhnis Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksploitasi oleh pemohon PT. Daya Mas Geopatra Pangrango, padahal keingin tahuan publik sesungguhnya bukan itu," ujar Firman.
Selanjutnya Media mempertanyakan, sesungguhnya apa yang ingin di ketahui publik tentang proyek tersebut, kembali Firman melanjutkan penjelasan nya:
"Simple aja keingin tahuan publik itu, apakah proyek itu berada di kawasan hutan TNGGP ? jadi begini, Satu aspek strategis dalam pelaksanaan tupoksi Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) yaitu pengelolaan keanekaragaman hayati yang harus tetap terjaga kelestariannya, baik flora maupun fauna dalam satu kesatuan ekosistem," bebernya.
" Didalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya fungsional PEH berpedoman kepada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.10/MENHUT-II/2014 Tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan dan Angka Kreditnya," urainya
" Tugas Pokok Balai Besar Gunung Gede Pangrango mempunyai tugas melakukan penyelenggaraan konservasi dan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan Taman Nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku salah satu nya yaitu Perlindungan dan pengamanan kawasan. " tegas Firman.
" Disini kami melihat ada tumpang tindih aturan, menurut kajian kami ada ketidak selarasan antara aturan yang satu dengan yang lainya," tambah Firman.
Kembali awak media menanyakan, seperti apa contohnya aturan yang tidak selaras dimaksud, perundangan apa, pasal berapa, kembali Firman melanjutkan penjelasan nya:
" Coba kalian baca Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yaitu Pasal 38 Ayat (1) seyogyanya menjadi acuan BBTNGGP Wilayah 1 Cianjur, terkait adanya rencana PSPE dari pemohon PT. Daya Mas Geopatra Pangrango apakah ada bunyi hutan konservasi dibolehkan dalam pasal tersebut diatas, dan sampai sekarang pasal tersebut di atas belum ada revisi atau pun perubahan," papar Firman.
"Kalian media baca sendiri di perundangan ESDM di bolehkan tapi kalian baca di perundangan kehutanan apakah dibolehkan, nah disini jika kemudian si pemohon di berikan rekomendasi oleh pengelola TNGGP kemudian turun ijin dari KLHK berarti bakal ada perundangan yang harus di revisi. Jika itu di langgar maka asas kepatuhan terhadap hukum tidak dijalankan, " jelasnya.
"Begini analoginya, ketika kalian akan membangun gedung, apa yang di mesti dahulukan, membangun dulu, survei dulu, ijin dulu, ya tentu yang harus didahulukan adalah objeknya/Lokasinya sudah berkesesuaian atau belum dengan aturan yang berlaku." Pungkasnya.
(Ark/Indrayama)