SUARA CIANJUR | CIANJUR - RUU Penyiaran Berpotensi Berangus Kebebasan Pers dikhawatirkan memuat pasal yang mengatur isi konten produk jurnalistik antara lain melarang penayangan jurnalistik investigatif.
Proses revisi UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menuai protes dari kalangan masyarakat sipil. Pasalnya penyusunan draf RUU Penyiaran dinilai banyak kalangan tidak melibatkan pemangku kepentingan dan substansinya bermasalah. Ironisnya, terdapat materi yang mengancam kebebasan pers.
Dikutip dari Hukumonline.com Guru Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Andi M. Faisal Bakti mencatat proses revisi itu masih digodok DPR. Rabu, (22/5/2024).
Ini bukan kali pertama upaya untuk membatasi kebebasan pers, karena sebelumnya sudah ada beberapa regulasi serupa. Seperti UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Peraturan KPU, dan UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.
Tapi untuk revisi UU 32/2002, Prof Andi melihat salah satu alasannya beleid itu dianggap sudah ketinggalan zaman. Sehingga perlu diperbarui sesuai perkembangan teknologi informasi. Persoalannya dalam RUU itu ikut menyasar kebebasan pers. Dia memberikan contoh.
Pasal 50B ayat (2) misalnya, yang mencantumkan larangan konten berita yang ditayangkan melalui media penyiaran, antara lain penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Kemudian melarang konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.
Prof Andi menilai ketentuan dalam RUU itu tergolong karet sehingga sangat rentan menjerat jurnalis. RUU ini bakal menjadi ancaman baru bagi jurnalis dan insan pers. Padahal selama ini tak sedikit jurnalis yang dijerat pidana menggunakan UU No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.
“RUU ini harusnya disusun dari awal dengan melibatkan pemangku kepentingan baik dewan pers dan lainnya. Apalagi sekarang sudah banyak ahli komunikasi yang bergelar Profesor,” katanya dalam diskusi bertema ‘RUU Penyiaran dan Ancaman Kebebasan Pers Indonesia, pada (19/05).
RUU Penyiaran memuat Pasal yang saling tumpang tindih, misalnya antara kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers sebagaimana diatur Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat (2). Ketentuan itu intinya memberi kewenangan KPI untuk menangani sengketa pers. Padahal selama ini sengketa pers sudah sudah sangat baik dan tepat ditangani Dewan Pers. Tak sekedar itu, Pasal 51 huruf E RUU mengatur Keputusan KPI terkait hasil sengketa itu dapat diajukan ke pengadilan.
“Ini ada pasal selundupan yang mengancam pers dan demokrasi kita,” ujarnya.
Prof Andi menyimpulkan RUU Penyiaran yang saat ini digodok DPR memberangus kebebasan pers dan hak publik atas informasi sebagaimana dijamin konstitusi. Penyensoran terhadap informasi yang ada dalam pemberitaan bisa menghambat proses penegakan hukum misalnya dalam kasus korupsi.
“Jangan karena dalih mengikuti perkembangan zaman, tapi prakteknya RUU ini malah menghambat hak publik mengakses informasi. Revisi ini memundurkan demokrasi karena selain mengancam insan pers juga menutup hak masyarakat mendapat informasi,” tegasnya.
Selain memuat ketentuan yang membuat Kewenangan KPI dan Dewan Pers saling tumpang tindih, RUU juga membatasi kewenangan KPI dalam mengatur tata kelola penyiaran. Misalnya, ada kewajiban bagi KPI untuk berkonsultasi dengan DPR. Prof Andi yakin ketentuan ini rawan digunakan anggota DPR untuk mengintervensi independensi KPI.
Alih-alih membatasi dan mengancam insan pers, Prof Andi mengusulkan lebih baik kebebasan pers tetap dijaga. Peran pers sangat penting dalam sistem demokrasi dan penegakan hukum karena karya jurnalistik yang dihasilkan berperan juga sebagai whistleblower. Jika kebebasan pers dilucuti, peran jurnalis mengungkap informasi yang penting bagi publik bakal tertutup.
RUU ini malah membuat mundur kualitas jurnalisme di Indonesia. Tak ketinggalan Prof Andi mengingatkan semangat terbitnya UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers patut dijadikan acuan karena menjamin kebebasan pers secara baik seperti menghapus penyensoran dan pembredelan. RUU Penyiaran yang saat ini berproses di DPR layak ditolak.
Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati, Prof Asep Saeful Muhtadi, mengatakan pers punya peran strategis tak sekedar memberikan informasi dan hiburan atau pendidikan, tapi juga pengawasan. Memang pers bukan lembaga negara seperti DPR yang secara tegas memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan.
Tapi fungsi pengawasan yang dilakukan lembaga negara seperti DPR tak selalu efektif. Bahkan kesan yang muncul sekarang antara DPR dan pemerintah saling bersekutu untuk menghasilkan UU yang merugikan rakyat.
“Revisi UU Penyiaran ini harus dilawan karena akan memberikan dampak negatif bagi kebebasan pers. Kebebasan pers mendorong terwujudnya kedewasaan demokrasi dan berpolitik,” urainya.
Didaerah hal tersebut mendapat tanggapan beragam dari berbagai kalangan, salah satunya dari PWI dan IJTI Kabupaten Cianjur.
Ratusan masa dari Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI ) Kabupaten Cianjur, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia ( IJTI ) Kabupaten Cianjur mendatangi DPRD Cianjur.
Kedatangan insan pers ke gedung dewan tersebut untuk menyampaikan pernyataan sikap terkait rencana pengesahan Rencana Undang-Undang (RUU) Penyiaran Investigasi yang dipandang akan mengkebiri kebebasan pers ketika melakukan peliputan atau melakukan investgasi lapangan.
Dikatakan Ketua PWI Cianjur, Ahmad Fikri, kedatangannya ke gedung DPRD Cianjur bersama IJTI mendesak anggota dewan untuk turut menolak RUU Penyiaran Investigasi.
"Kami datang ke DPRD Cianjur ingin mengajak anggota dewan turut mendukung dan melakukan penolakan RUU Penyiaran Investigasi," kata Bang Orik. Rabu, 22/05/2024
Orik mengatakan, pihaknya juga meminta para nggota DPRD untuk menandatangani kesepakatan penolakan, nantinya akan diserahkan ke DPR RI.
"Kami minta 50 anggota DPRD Cianjur untuk sama-sama menandatangani penolakan RUU penyiaran," jelasnya.
Jika RUU Investagasi tetap disahkan, kata Orik, pihaknya yang tergabung antara PWI dan IJTI seluruh Indonesia akan melakukan perlawanan sampai RUU tersebut dibatalkan.
"Kalau memang RUU itu tetap disahkan, maka kami juga akan terus melakukan petisi atau penolakan RUU penyiaran investigasi itu," pungkasnya.
(Sr/Ddi)