SUARA CIANJUR | CIANJUR - Kuda Kosong merupakan kebudayaan khas Cianjur ditampilkan hanya menyambut perayaan hari besar nasional dan momen tertentu, salah satunya dalam perayaan menyambut kemerdekaan Republik Indonesia setiap tahunnya.
Kebudayaan ini ternyata penuh makna, tak hanya sebagai simbol sejarah Cianjur dengan kehebatan diplomasinya tetapi juga terdapat filosofi yang kental di dalamnya.
Dalam iringan Kuda Kosong biasanya disertai dengan pasukan berpakaian pengawal zaman kerajaan. Selain itu terdapat juga tiga orang pengawal yang memegang kotak berisikan tiga butir biji cabai, tiga butir beras dan tiga butir pedes atau lada yang memiliki nilai filosofis luhur.
Kuda tanpa penunggang yang dihiasi dengan jubah hijau itu selalu menjadi magnet utama dalam penyelengaraan helaran budaya maupun perayaan hari besar lainnya.
Seperti dalam peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79, warga cianjur tumpah kejalan ingin menyaksikan pawai kuda kosong.
Nurdin (45) Warga Gekbrong, bersama keluarganya pagi-pagi sudah berada dijalan protokol kota cianjur, tujuanya ingin menyaksikan pawai kuda kosong.
"Momen seperti ini selalu kami tunggu-tunggu setiap tahunnya, setelah pawai selesai kami jalan-jalan dulu berkeliling kota cianjur," ujarnya Minggu (18/7/2024).
"Tidak lupa berbelanja kebutuhan, setelah semuanya beres biasanya kami berkumpul di alun-alun cianjur," imbuhnya.
Dikutip dari detikjabar Budayawan sekaligus sejarawan Cianjur, Luki Muharam, menjelaskan kebudayaan kuda kosong diambil dari peristiwa diplomasi Cianjur dengan Mataram.
"Ketika itu Cianjur yang merupakan pemerintahan yang baru berdiri diminta tunduk kepada Mataram. Namun bupati Cianjur saat itu yakni Raden Wiratanu II mengirim utusan untuk menyampaikan pesan yang berisikan cabai, lada, dan beras," kata dia.
"Kehebatan pemimpin saat itu membuat pesan simbolis itu dapat dipahami oleh masing-masing pemimpin. Dimana beras mengartikan Cianjur merupakan daerah yang subur, lada menyimbolkan Cianjur merupakan daerah baru terbentuk, dan cabai mengartikan meskipun masih baru Cianjur siap untuk memberikan pelawanan," tambahnya.
Bukannya murka, Mataram malah takjub dengan diplomasi yang digunakan pemerintahan Cianjur. Diplomasi itu berbuah pengakuan Mataram jika Cianjur bukan sebagai negeri taklukan tapi sahabat. Bahkan Cianjur diberi hadiah, yang salah satunya kuda balap dengan perawakan tinggi besar.
Selama sebulan perjalanan dari Mataram ke Cianjur, kuda yang gagah itu tidak ditunggangi. Sebab kuda itu dihadiahkan untuk sang Bupati Cianjur kedua.
Setibanya para utusan ke Cianjur, mereka disambut oleh dalem beserta jajarannya. Berbagai benda amanat dari Raja Mataram sudah di berikan pada dalem, kemudian kuda gagah hadiah Raja Mataram dibawa ke pendopo Cianjur.
Setelah peristiwa tersebut, tersiarlah pada seluruh rakyat Cianjur. Bahwa, Cianjur telah terbebas dari wajib upeti kepada Mataram, dan juga mendapatkan hadiah seekor Kuda besar yang gagah. Hal ini menyulut keingintahuan masyarakat Cianjur pada sosok kuda pemberian Raja Mataram tersebut.
Dalem atau Bupati Cianjur membuat kebijakan untuk memamerkan kuda hadiah tersebut pada masyarakat, setelah sebelumnya kuda tersebut di rias kemudian di arak mengitari jalan raya Cianjur.
Kebudayaan itupun dikenal dengan Kuda Kosong lantaran saat diarak kuda tersebut tidak ditunggangi seperti halnya ketika kuda itu dibawa dari Mataram ke Cianjur.
"Jadi dari sejarah awalnya tidak ditunggangi itu karena Raden Arya Kidul dan Raden Arya Cikondang menghormati kakaknya, sehingga tidak berani menunggangi kuda itu dari Mataram ke Cianjur," ujar Luki.
Namun, lanjut dia, pada 1950-an, terjadi pergeseran budaya, dimana kuda kosong diidentikan dengan hal mistis. Dimana kuda tersebut dianggap tidak benar-benar kosong.
Menurutnya dibuat cerita jika saat halaran atau arak-arakan kuda kosong, Rade Eyang Suryakencana sosok leluhur Cianjur dari bangsa gaib menaiki kuda tersebut.
Oleh karena itu, selain penasaran tentang sejarah, warga Cianjur berantusias melihat Kuda Kosong lantaran kisah mistis ini, ternyata erat kaitannya dengan sejarah awal berdirinya Cianjur.
Bahkan sebelum diarak, ada ritual yang harus dilakukan, mulai dari penyambutan oleh para pejabat daerah, penyiraman, hingga pengantaran lagi sosok Eyang Suryakancana.
"Jadi dulu itu harus ada ritual, para pejabat berjejer di Pendopo menyambut kuda kosong selayaknya menyambut pejabat, kemudian ada ritual penyiraman oleh Bupati Cianjur, kemudian setelah acara ada prosesi pengantaran Eyang Suryakencana pulang, dan itu harus dihadiri para pejabat dengan berjejer di pendopo," kata dia.
Ritual yang dianggap bertentangan dengan agama itu pun membuat Kuda Kosong dilarang tampil pada tahun 1997. Namun setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya budaya pawai kuda kosong pada tahun 2005 kembali diizinkan untuk ditampilkan.
"Beberapa tahun ditiadakan, kemudian diizinkan lagi dengan menghapus sejumlah ritual yang dianggap bertentangan," kata dia.
Menurutnya Kuda Kosong saat ini sebatas ditujukan sebagai tontonan atau pertunjukan budaya. Adapun masyarakat yang meyakini jika Kuda tersebut ditunggangi Raden Suryakencana masih banyak.
"Yang mempercayai adanya sosok yang menaiki kuda itu silakan, tapi perlu dipertegas jika Kuda Kosong sebagai pertunjukan budaya, tidak ada unsur mistis apapun. Juga sebagai pengingat sejarah Cianjur yang mendapatkan hadiah dari diplomasi yang begitu indah," pungkasnya.
(Ark)