Konflik Sengit Sengketa Tanah Warisan di Cipanas, Tanah Wakaf Gereja Diperebutkan

suaracianjur.com
Februari 28, 2025 | 19:22 WIB Last Updated 2025-02-28T12:29:20Z
Foto: Dok. (Indra/SC) Prosesi pemeriksaan lapangan kasus sengketa tanah warisan yang membawa dimensi agama.

SUARA CIANJUR | CIPANAS - Sengketa tanah warisan yang melibatkan keluarga almarhum Pendeta Timbul Panggabean di Desa Palasari, Kecamatan Cipanas, berkembang menjadi isu yang kompleks dan sensitif. 

Tanah yang menjadi lokasi bangunan Gereja Kristen Alkitab Indonesia (GKAI) serta makam keluarga kini menjadi objek gugatan di Pengadilan Negeri Cianjur. Pada Jumat, 28 Februari 2025, pengadilan melaksanakan pemeriksaan lapangan untuk melihat langsung kondisi tanah sengketa.

Konflik ini bermula saat Doni Panggabean, salah satu anak almarhum, disebut memindahkan kepemilikan sertifikat tanah menjadi atas namanya sendiri dengan alasan untuk mempermudah administrasi pembayaran pajak. 

Langkah ini justru memicu gugatan dari ibu kandungnya, Ibu Kartini, serta beberapa saudara lainnya yang merasa tidak diajak
berkonsultasi sebelumnya.

Rahmat S.H. Kuasa Hukum Bank BPR, dalam kasus ini karena sertifikat tanah pernah digunakan sebagai jaminan pinjaman, menegaskan bahwa hakim bertugas memverifikasi keabsahan objek berdasarkan bukti lapangan. 

" Hari ini, proses pemeriksaan lapangan bertujuan untuk mengonfirmasi apakah lokasi tanah dalam sertifikat sesuai dengan fakta di lapangan. Keputusan pengadilan nantinya akan mempertimbangkan semua temuan ini, termasuk objek yang disengketakan, apakah lahan ini benar-benar mencakup gereja, makam, atau tidak," jelas Rahmat, Jumat (28/2/2025).

Selain itu, ia menyoroti bahwa klaim terkait status bangunan gereja baru diketahui belakangan. 

" Saat proses pengajuan kredit, pihak debitur tidak menyebutkan detail bahwa ini adalah gereja. Seharusnya, debitur memiliki tanggung jawab menyampaikan keterangan sepenuhnya. Jika dinyatakan sebagai gereja, tentu menjadi pertimbangan berbeda dalam proses perbankan," tambahnya.

Namun, Pendeta Perhimpunan Simatupang dari Gereja GKAI menegaskan bahwa tanah tersebut bukanlah sekadar tanah biasa, melainkan tanah wakaf yang digunakan untuk kegiatan pelayanan sejak lama. 
Foto: Dok. (Indra/SC) Prosesi pemeriksaan lapangan kasus sengketa tanah warisan yang membawa dimensi agama.

" Gereja ini berdiri sejak 1986 dan menjadi pusat kegiatan rohani jemaat setempat, termasuk adanya makam sebagai bagian sejarah layanan gereja. Fakta lapangan menunjukkan keberadaan makam, gedung ibadah, hingga fasilitas Sekolah Minggu. Namun, pihak tertentu mencoba menutupi kehadiran gereja ini demi kepentingan pribadi," tegasnya.

Ia juga menyinggung dugaan manipulasi dalam appraisal lahan yang dilakukan oleh pihak terkait. 

" Salib gereja bahkan dihapus dalam dokumen appraisal, seolah-olah ini bukan tempat ibadah. Proses kredit oleh BPR juga menunjukkan kurangnya kehati-hatian, karena seharusnya mereka mampu mengidentifikasi bahwa ini adalah tanah pelayanan dari awal," ucap Pendeta Simatupang sambil berharap hakim akan bersikap adil dalam memutus perkara.

Ronald Tampenawas, S.H., kuasa hukum keluarga ahli waris yang menggugat Doni, menjelaskan bahwa masalah ini bukan hanya soal kepemilikan, tetapi juga menyangkut pelanggaran prosedur administrasi. 

" Perubahan nama sertifikat dari nama mendiang Timbul Panggabean ke nama Doni dilakukan sepihak. Proses tersebut mengabaikan prosedur resmi, seperti pengesahan waris yang seharusnya dilakukan di kelurahan serta BPN. Hal ini melanggar tata cara yang diatur oleh hukum," terang Ronald.

Ia juga menyoroti tindakan Doni yang diduga memanfaatkan kepercayaan keluarga untuk keuntungan pribadi. 

" Keluarga merasa terjebak pada saat penandatanganan dokumen, karena tidak dijelaskan dengan detil. Bahkan, dugaan manipulasi informasi ini membuat keluarga merasa dirugikan. Karena itulah, kami meminta pengadilan untuk membatalkan pemindahan hak atas tanah tersebut," tambahnya.

Irene Hasianna Panggabean, anak ke-4 dari almarhum, juga memberikan kesaksiannya. Ia menguraikan bahwa pada mulanya keluarga percaya kepada Doni karena ia adalah anak laki-laki tertua, tetapi kepercayaan itu disalahgunakan.

" Saat ayah kami meninggal, Doni meminta kami menandatangani dokumen karena ia mengatakan ini untuk mempermudah pembayaran pajak. Kami percaya karena saat itu ia berjanji bahwa tanah ini tidak akan digunakan untuk kepentingan pribadi. Namun, perjanjian itu dilanggar, dan kami baru sadar setelah ada surat pengosongan lahan," ujarnya.

Lebih lanjut, Irene menjelaskan bahwa gereja dan makam yang berada di tanah tersebut adalah bagian dari sejarah keluarga mereka. 

" Bapak kami, almarhum Pendeta Timbul Panggabean, dimakamkan di sana karena tanah ini adalah tanah wakaf yang diberikan demi pelayanan gereja. Sayangnya, Doni menghilangkan identitas gereja, bahkan menghapus logo salib, demi mempermudah pengajuan kredit. Kami sangat kecewa dengan tindakan tersebut," ungkapnya.

Pendalaman fakta dalam sidang lapangan ini dipandang oleh keluarga sebagai kesempatan untuk menunjukkan kebenaran. Mereka berharap hakim dapat melihat langsung situasi sebenarnya di lokasi sehingga keputusan yang diambil nanti dapat mencerminkan keadilan. 

" Kami tahu bahwa ini adalah ujian berat bagi keluarga, tetapi kami percaya keadilan akan berpihak pada kebenaran. Kami hanya ingin menjaga warisan pelayanan almarhum ayah kami," pungkas Irene.

Kasus ini menjadi sorotan karena tidak hanya melibatkan konflik warisan dalam keluarga, tetapi juga membawa dimensi agama dan legalitas tanah wakaf. Proses hukum akan terus berlanjut, dengan semua pihak menunggu putusan hakim yang diharapkan mampu memberikan penyelesaian yang adil dan menyeluruh.

(Indra)


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Konflik Sengit Sengketa Tanah Warisan di Cipanas, Tanah Wakaf Gereja Diperebutkan

Trending Now

Iklan