SUARA CIANJUR | BANDUNG - Warga Apartemen The Suites Metro (TSM) Jalan Soekarno Hatta Bandung terus melanjutkan gugatan terhadap Perhimpunan Pemilik Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPRS) terkait kenaikan tarif listrik pada pembayaran token listrik (pra bayar) yang dianggap memberatkan. Senin (24/3/2025).
Sidang terbaru digelar pada Senin, 17 Maret 2025 dengan nomor perkara 497/Pdt.G/2024/PN. Bdg di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, sebagai kelanjutan dari persidangan- persidangan sebelumnya.
AH, salah seorang pemilik unit di TSM selaku penggugat, pada dua kali persidangan sebelumnya melalui kuasa hukumnya, Badiaraja Leornardo Sitompul dari Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Badiaraja dan Associate Law, telah menghadirkan tiga saksi, yaitu RA, NA, dan NS, yang merupakan pemilik dan penghuni unit di TSM.
Ketiganya menyatakan keberatan atas kenaikan tarif listrik pada pembayaran token listrik (pra bayar) yang diberlakukan PPPRS.
Mereka menegaskan bahwa PPPRS tidak memiliki wewenang untuk menaikkan tarif listrik pada pembayaran token listrik (pra bayar), apalagi menjualnya tanpa izin (IUPTL) dari ESDM atau lembaga pemerintah yang berwenang.
Pada sidang hari ini, penasihat hukum penggugat menghadirkan dua saksi tambahan.
Saksi pertama adalah dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat. Dalam keterangannya, ia menegaskan bahwa PPPRS tidak memiliki hak menaikkan tarif listrik pada pembayaran token listrik (pra bayar).
Seharusnya, tarif listrik yang berlaku pada pembayaran token listrik (pra bayar) di apartemen TSM mengikuti Tarif Dasar Listrik (TDL) R3 sebesar Rp 1.444,7/kWh tanpa tambahan apa pun. Hal ini tertuang dalam Permen ESDM No. 31 Tahun 2015. Permen ini tidak mencantumkan ketentuan terkait sanksi, namun jika merujuk kepada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Pasal 57 ayat (1), setiap orang yang melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) tanpa izin dikenai denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ia juga mengungkapkan bahwa warga TSM pernah mengajukan mediasi ke ESDM pada Januari 2022 terkait kenaikan tarif listrik yang dilakukan oleh pengelola sebelumnya, PT Permata Margahayu Land (PML), menjadi Rp 1.800/kWh.
Mediasi tersebut menghasilkan pernyataan bahwa pengelola telah melakukan praktik keliru dengan menaikkan tarif listrik tersebut dan menghasilkan keputusan bahwa pengelola harus mengembalikan tarif listrik ke TDL PLN serta mengembalikan seluruh kelebihan pembayaran kepada warga. Oleh sepengetahuan saksi, pengelola TSM pada waktu itu segera menindaklanjutinya sesuai hasil keputusan mediasi yang tertuang dalam Notulensi Rapat Klarifikasi Penyediaan Tenaga Listrik pada bangunan dalam kawasan terbatas tanggal 11 Januari 2022.
Namun rekomendasi tersebut tidak menjadi acuan dalam penentuan kebijakan kenaikan tarif listrik pada pembayaran token listrik (pra bayar) yang diterapkan oleh Pengurus P3SRS TSM Apartemen sehingga semakin meresahkan dan merugikan warga pemilik dan penghuni lainnya akibat kenaikan sebesar Rp.2.600,-/kWh sejak tahun 2023 hingga tahun 2025 ini, ungkap AH sebagai penggugat melalui kuasa hukumnya.
Saksi kedua, S, adalah pemilik beberapa unit di TSM sekaligus Ketua PPPRS di salah satu Apartemen di sekitar Buah Batu, Bandung. Dalam kesaksiannya, S menyatakan bahwa kebijakan PPPRS TSM dalam menetapkan harga tarif listrik pada pembayaran token listrik (pra bayar) sangat keliru.
Menurutnya, dalam penjualan token listrik, PPPRS menyatukan beberapa komponen biaya, yakni:
. TDL (Tarif Dasar Listrik) PLN: Rp 1.444,7/kWh
. PJU (Pajak Penerangan Jalan Umum, 8%): Rp 115,58/kWh
. Fasilitas umum dan sosial (fasum fasos) serta biaya lainnya: Rp 1.039,72/kWh
. Total tarif yang dibebankan warga: Rp 2.600/kWh
S menekankan bahwa seharusnya PPPRS hanya menjual token listrik berdasarkan TDL PLN saja. Adapun biaya PJU dan fasum fasos seharusnya tidak dimasukkan dalam harga token listrik, melainkan dibagi rata kepada seluruh pemilik unit, baik unit yang terisi maupun yang kosong, seperti halnya Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL).
S dan ketiga saksi pada persidangan sebelumnya, RA, NA, dan NS, menyayangkan sikap Ketua PPPRS saat ini, yang dulunya aktif menolak kenaikan tarif listrik Rp 1.800/kWh saat masih menjadi warga biasa. Namun, setelah menjabat sebagai Ketua PPPRS sejak Agustus 2022, justru menaikkan tarif listrik jauh lebih tinggi pada Januari 2023 menjadi Rp 2.800/kWh.
Atas desakan warga, pada Januari 2024 sempat diturunkan menjadi Rp 2.600/kWh dan berlaku hingga sekarang. Namun, tarif tersebut tetap dianggap mahal karena tidak sesuai dengan TDL PLN R3, yakni Rp 1.444,7/kWh.
Adapun diketahui bahwa ternyata ada data otentik sekitar 200an warga yang telah mengumpulkan surat pernyataan keberatan kenaikan tarif listrik pada pembayaran token listrik sejak Januari 2024 hingga akhir tahun 2024 sebagai bukti dalam persidangan, belum termasuk beberapa data lainnya yang belum sempat disampaikan dalam persidangan.
Ini menjadi preseden buruk atas kenaikan tarif listrik pada token listrik. Sidang berikutnya akan dilanjutkan setelah Idul Fitri, yakni pada Senin, 14 April 2025, dengan agenda mendengarkan beberapa saksi tergugat.
(Red)